Belajar Menjadi Kecil
Di antara gemuruh dunia yang penuh
pamer pencapaian, ada satu sikap yang kini mulai langka: kerendahan hati atau
Tawadhu .
Ia tak berisik, tak menuntut sorotan, bahkan sering disalahpahami sebagai
kelemahan — padahal di sanalah letak kekuatan sejati.
Suatu pagi, seorang pegawai muda
melihat atasannya sedang menyapu halaman kantor. “Biar saya saja, Pak,”
katanya.
Sang atasan tersenyum, “Tidak apa-apa, saya juga bagian dari tempat ini.”
Pagi itu, para karyawan terdiam sejenak. Tak ada pidato motivasi, tapi sikap
itu menegur lebih dalam dari seribu kata.
Di rumah, seorang ayah meminta maaf
kepada anaknya karena terlambat menepati janji. “Ayah salah, maaf ya.”
Anak itu menatap heran — sebab yang selama ini ia kenal, orang dewasa jarang
mau mengakui salah. Tapi di situlah anak belajar: kehormatan tidak berkurang
karena kerendahan hati.
Di masjid, seorang jamaah
menyingkirkan sandal jamaah lain agar tidak menghalangi pintu. Tak ada yang
tahu namanya, tak ada yang mengucap terima kasih. Tapi berkatnya, jalan masuk
tetap lapang.
Tawadhu’ memang seperti udara — tak terlihat, tapi membuat hidup terasa lebih
lega.
Di sekolah, guru yang tawadhu’ tidak
merasa paling tahu. Ia mau mendengar cerita murid, bahkan menertawakan
kekurangannya sendiri.
Murid-murid seperti itu tumbuh dengan hati yang lembut, sebab mereka belajar
dari keteladanan, bukan dari suara keras.
Di tempat umum, tawadhu’ tampak
dalam hal-hal kecil: memberi jalan pada pejalan kaki, menahan marah di antrean,
atau tersenyum ketika disalahpahami.
Tidak ada tepuk tangan untuk semua itu, tapi ada ketenangan yang hanya Allah
yang tahu.
عَنْ
أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ ﷺ قَالَ:
مَنْ تَوَاضَعَ لِلَّهِ رَفَعَهُ
اللَّهُ، وَمَنْ تَكَبَّرَ وَضَعَهُ اللَّهُ.
(رواه مسلم)
“Barang siapa merendahkan diri
karena Allah, niscaya Allah meninggikannya.
Dan barang siapa sombong, niscaya Allah akan merendahkannya.”
(HR. Muslim)
وَاخْفِضْ
جَنَاحَكَ لِلْمُؤْمِنِينَ
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang beriman.”
(QS. Al-Ḥijr: 88)
Buya Hamka menulis dalam Tafsir
Al-Azhar:
“Tawadhu’ adalah buah dari jiwa yang telah mengenal hakikat dirinya. Ia
tahu, tinggi dan rendah bukan datang dari manusia, melainkan dari Allah.”
Karena itu, orang yang tawadhu’ tidak sibuk membuktikan diri — ia sibuk
memperbaiki diri.
Dalam kehidupan modern yang serba
kompetitif, tawadhu’ terasa seperti berjalan melawan arus. Tapi justru di
situlah letak kemuliaannya: menjaga hati tetap lembut ketika dunia memaksa
keras.
Mungkin inilah saatnya kita belajar menjadi kecil di hadapan sesama, agar bisa
besar di hadapan Allah.
Karena yang ringan langkahnya di bumi, akan tinggi derajatnya di langit.
🌾 Tulisan ini terinspirasi dari
Riyadhus Shalihin Bab 71 — “Merendahkan Diri terhadap Orang Mukmin.”
Sebuah pengingat lembut bahwa kemuliaan sejati lahir dari hati yang tak
meninggi
Video
Guru dan Karyawan
Data Guru tidak ada






