
Sekolah yang tidak mau tumbuh
“Sekolah
gagal bukan karena gedungnya tua, tapi karena hati warganya yang beku.”
Kalimat itu
terdengar keras, tapi jujur. Hari
ini, banyak lembaga pendidikan stagnan. Tidak maju, tidak berkembang, bahkan pelan-pelan
ditinggalkan. Lalu kita mencari-cari kambing hitam: karena dana kurang, karena
fasilitas belum memadai, karena murid makin sedikit.
Tapi, benarkah itu akar masalahnya?
Sebuah refleksi dari forum
pendidikan di lingkungan madrasah Kota Tegal menyuguhkan jawaban yang lebih
dalam. Berikut ini adalah lima sebab utama mengapa sekolah gagal berkembang,
dan semuanya berakar bukan pada uang, tapi pada manusia di dalamnya.
1.
Terjebak dalam Zona Nyaman
Ketika sekolah merasa cukup dengan
yang ada, maka saat itulah bahaya dimulai.
Guru enggan belajar lagi, kepala sekolah enggan berubah, yayasan merasa tak
perlu inovasi.
Semua puas pada rutinitas.
Padahal, tidak ada pertumbuhan dalam
zona nyaman.
Dan tidak ada kenyamanan dalam proses pertumbuhan.
Sekolah yang ingin tumbuh harus siap
gelisah. Siap mencoba hal baru. Siap dikritik. Siap gagal, lalu bangkit.
2.
Terlalu Fokus pada Nilai Akademik
Kita begitu sibuk mengejar angka:
matematika berapa? bahasa Indonesia berapa? rankingnya berapa?
Namun kita sering lupa bertanya:
- Apakah anak kita tahu rukun
wudhu?
- Apakah ia bisa menahan marah?
- Apakah ia menyapa guru dan
temannya dengan ramah?
Pendidikan yang hanya mengasah otak
tapi tidak menyentuh hati akan melahirkan generasi pintar tapi hampa.
Tanpa akhlak, kepintaran bisa jadi bumerang.
Anak-anak jadi ambisius, tapi tidak peduli. Kritis, tapi kehilangan em
3.
Pemimpin yang Tidak Visioner
Sekolah butuh pemimpin yang punya
arah, bukan sekadar pengelola harian.
Kepala sekolah yang visioner akan bertanya:
“Sekolah ini akan seperti apa lima
tahun ke depan?”
“Apa yang dibutuhkan anak-anak zaman digital ini agar tetap punya akhlak?”
“Bagaimana guru-guru saya bisa terus bertumbuh?”
Pemimpin visioner bukan yang sibuk
di ruangan, tapi yang hadir di tengah guru, mendengarkan, menyemangati, dan
menjadi kompas arah.
4.
Lingkungan yang Toksik
Tidak ada sekolah yang bisa
berkembang dalam suasana kerja yang saling menjatuhkan.
Ketika guru saling sinis, yayasan antipati, kepala sekolah enggan mendengar —
sekolah pelan-pelan kehilangan rohnya.
Yang seharusnya jadi rumah kedua
malah terasa seperti ladang konflik.
Yang seharusnya jadi tempat mendidik malah penuh adu gengsi dan rasa curiga.
Sekolah bukan hanya tempat belajar,
tapi tempat semua orang merasa tumbuh.
5.
Tidak Ada Atmosfer Positif
Menurut teori energi manusia, setiap
kita memancarkan vibrasi.
Ada yang menguatkan, ada yang melemahkan.
Ada yang menyemangati, ada yang meruntuhkan.
Atmosfer positif di sekolah lahir
dari guru yang tulus, kepala sekolah yang adil, yayasan yang peduli, dan wali
murid yang mendukung.
Ketika semua elemen ini bekerja
dalam satu semangat, maka sekolah akan punya nyawa.
Kesimpulan: Sekolah Gagal berkembang Bukan Karena Gedungnya, Tapi Karena Jiwa yang
Layu
“Sekolah gagal berkembang bukan
karena kekurangan dana, tapi karena kehilangan arah dan semangat untuk tumbuh.”
“Ia bukan gagal karena gedung yang tua, tapi karena hati warganya yang beku.”
Bangkitnya sebuah sekolah dimulai
dari manusia yang mau berubah.
Dari guru yang mau belajar. Dari kepala sekolah yang mau mendengar. Dari
yayasan yang tak hanya mengawasi, tapi membersamai.
Selama masih ada keikhlasan, niat
baik, dan kemauan untuk memperbaiki, sekolah sekecil apa pun bisa menjadi mata
air perubahan bagi masa depan anak bangsa.
Video
Guru dan Karyawan
Data Guru tidak ada