
Bayruha Ketika Harta Terbaik Dilepaskan
Pagi itu, suasana di Madinah begitu syahdu.
Seorang lelaki dari Anshar melangkah perlahan menuju Nabi. Wajahnya tegas, tapi
di balik tatapannya tersimpan pergulatan. Namanya Abu Thalhah.
Ia tahu betul ayat baru saja turun:
لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ
“Kamu sekali-kali tidak akan memperoleh
kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian dari apa yang kamu
cintai.” (QS. Ali Imran: 92)
Harta yang paling dicintai Abu Thalhah
adalah kebun Bayruhā’. Kebun itu istimewa: pohon kurmanya rimbun, airnya
jernih, letaknya tepat di depan Masjid Nabawi. Di sana ia kerap beristirahat,
bahkan sekadar menikmati teduhnya pepohonan. Bayruhā’ bukan sekadar aset,
melainkan bagian dari hidupnya.
Kini, ayat itu seakan mengetuk hatinya. Antara cinta pada Bayruhā’ dan cinta
pada Allah, ia harus memilih. Dengan suara yang berat namun mantap, Abu Thalhah
berkata kepada Nabi: “Ya Rasulullah, kebun Bayruhā’ adalah harta yang paling
aku cintai. Aku sedekahkan ia karena Allah, semoga menjadi tabungan kebaikan di
sisi-Nya.”
Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar melukiskan suasana batin ini begitu indah.
Nabi mengetahui betapa berharganya kebun itu bagi Abu Thalhah. Karena itu,
walau beliau menerima dengan senang hati, beliau tetap memberi jalan tengah:
“Alangkah baiknya bila engkau memberikannya kepada kerabatmu.” Dengan begitu,
kebun itu tetap bisa dikelola, manfaatnya tak hilang, dan niat besar Abu
Thalhah tetap tercatat sebagai sedekah terbaik.
Inilah pergulatan yang menyentuh: memberi bukan dari sisa, tetapi dari sesuatu
yang paling dicintai.
Semangat Zaid: Kuda Kesayangan
Bukan hanya Abu Thalhah. Seorang sahabat
lain, Zaid bin Hārithah, juga tersentuh oleh ayat itu. Ia memiliki seekor kuda,
yang pernah dipakai ayahnya berperang—kuda penuh kenangan, kuda kesayangannya.
Itulah harta yang paling berat dilepaskan.
Dengan hati bergetar, Zaid pun berkata ingin menyerahkan kuda itu untuk Allah.
Nabi, dengan kelembutan hatinya, menerima niat itu, tapi kemudian berkata agar
kuda tersebut tetap dipelihara oleh anak Zaid. Niatnya sudah diterima, amalnya
tetap sah, meski kudanya tetap bersama keluarganya.
Di sinilah tampak kebijaksanaan Nabi. Beliau tidak membiarkan sahabat
kehilangan secara total, tetapi tetap menghargai niat luhur. Beratnya memberi,
tetap dilaksanakan. Dan niat itulah yang Allah terima.
Hadits: Sebiji Kurma yang Jadi Gunung
مَنْ تَصَدَّقَ بِعَدْلِ تَمْرَةٍ مِنْ كَسْبٍ طَيِّبٍ
Barangsiapa bersedekah dengan sebiji kurma
dari hasil usaha yang baik,
وَلَا يَقْبَلُ اللهُ إِلَّا الطَّيِّبَ
dan Allah tidak menerima kecuali yang baik,
فَإِنَّ اللهَ يَتَقَبَّلُهَا بِيَمِينِهِ
maka Allah akan menerimanya dengan tangan
kanan-Nya,
ثُمَّ يُرَبِّيهَا لِصَاحِبِهَا كَمَا يُرَبِّي أَحَدُكُمْ فَلُوَّهُ
lalu Allah mengembangkannya untuk
pemiliknya sebagaimana salah seorang di antara kalian merawat anak kudanya,
حَتَّى تَكُونَ مِثْلَ الْجَبَلِ
hingga (pahala itu) menjadi sebesar gunung.
(HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini menegaskan apa yang telah
dicontohkan Abu Thalhah dan Zaid. Bukan soal besar kecilnya pemberian,
melainkan kualitasnya. Satu kurma halal, jika diberi dengan ikhlas, Allah rawat
hingga jadi gunung pahala. Demikian pula kebun Bayruhā’ dan seekor kuda:
keduanya simbol dari sesuatu yang paling dicintai, tetapi rela dilepas karena
Allah. Berat memang, tetapi di situlah letak keagungan iman mereka.
Menyapa Nurani Kita
Apa yang kita cintai? Bayruhā’ kita mungkin
bukan kebun kurma. Mungkin gadget kesayangan, buku favorit, atau uang tabungan
yang sudah kita rencanakan untuk sesuatu yang personal. Ketika itu kita
lepaskan untuk orang lain, itulah al-birr sejati.
Abu Thalhah dengan kebunnya, Zaid dengan kudanya—keduanya menunjukkan betapa
beratnya memberi yang terbaik. Namun di situlah letak nilainya: memberi bukan
sekadar dari sisa, melainkan dari cinta.
( Riyadus Sholihin Bab 37 : Memberi Yang
Terbaik )
Video
Guru dan Karyawan
Data Guru tidak ada