
Kaya Yang Bersyukur
Di tengah riuhnya kapitalisme
modern, nama Wardah mencuat sebagai simbol keberhasilan bisnis muslimah
Indonesia. Dari etalase
mal hingga rak minimarket, kosmetik halal itu seakan menegaskan bahwa keyakinan
dan pasar bisa berjalan beriringan. Laba
triliunan rupiah bukan hanya berhenti di rekening perusahaan, tetapi sebagian
kembali ke masyarakat lewat beasiswa, kegiatan sosial, hingga pemberdayaan
perempuan.
Sosok lain yang kerap jadi
perbincangan adalah Yusuf Hamka. Konglomerat jalan tol itu nyaris setiap pekan
muncul di media karena kisah dermawannya. Ia mendirikan masjid di rest area,
menyantuni anak yatim, bahkan pernah mengaku siap menjual mobil mewahnya demi
menolong orang yang kelaparan. “Kalau rezeki ini hanya untuk saya, buat apa?”
ujarnya dalam sebuah wawancara. Potret semacam ini terasa kontras dengan wajah
banyak orang kaya yang sibuk menumpuk harta tanpa ingat berbagi.
Namun, kisah kaya yang bersyukur
sejatinya bukan barang baru. Dalam sejarah Islam, teladan itu sudah dipahat
oleh Utsman bin Affan. Sahabat Nabi yang dikenal lembut tutur katanya itu
adalah saudagar besar Quraisy. Hartanya melimpah, tapi justru itulah yang
menjadi bahan bakar perjuangan umat. Saat Madinah dilanda krisis air, ia
membeli sumur Raumah lalu mewakafkannya untuk kaum Muslim. Ketika pasukan Islam
hendak berangkat ke Perang Tabuk, Utsman menyumbang 900 unta, 100 kuda, dan
1.000 dinar emas. Bayangkan: hampir Rp 29
miliar rupiah disumbangkan untuk perjuangan umat, bukan untuk
membangun istana pribadi atau menimbun kekayaan. Ini bukan sekadar angka, tapi
cerminan dari hati yang lapang dan iman yang kokoh.
Imam Nawawi, dalam Bab 64
Riyadhus Shalihin, menegaskan bahwa orang kaya yang bersyukur berada pada
derajat tinggi di sisi Allah. Nabi ﷺ bersabda:
عَنْ أَبِي كَبْشَةَ الأَنْمَارِيِّ رضي الله
عنه قَالَ : سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يَقُولُ : إِنَّمَا الدُّنْيَا
لِأَرْبَعَةِ نَفَرٍ
Dari Abu Kabsyah al-Anmari r.a. ia
berkata: Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya dunia ini hanyalah
untuk empat macam orang.
فَرَجُلٌ آتَاهُ
اللَّهُ مَالًا وَعِلْمًا فَهُوَ يَتَّقِي فِيهِ رَبَّهُ وَيَصِلُ فِيهِ رَحِمَهُ
وَيَعْلَمُ لِلَّهِ فِيهِ حَقًّا فَهُوَ بِأَفْضَلِ الْمَنَازِلِ
Pertama, seorang yang Allah beri
harta dan ilmu, lalu ia bertakwa kepada Tuhannya dengan hartanya, menyambung
silaturahmi, serta mengetahui hak Allah dalam hartanya. Maka orang ini berada
pada kedudukan yang paling utama.
وَرَجُلٌ آتَاهُ
اللَّهُ عِلْمًا وَلَمْ يُؤْتِهِ مَالًا فَهُوَ صَادِقُ النِّيَّةِ يَقُولُ لَوْ
أَنَّ لِي مَالًا لَعَمِلْتُ بِعَمَلِ فُلَانٍ فَهُوَ بِنِيَّتِهِ فَهُمَا فِي
الْأَجْرِ سَوَاءٌ
Kedua, seorang yang Allah beri ilmu
tapi tidak diberi harta. Ia berkata dengan niat yang tulus: ‘Seandainya aku
punya harta, niscaya akan kuperbuat seperti perbuatan si fulan (yang baik).’
Maka dengan niat itu ia mendapat pahala yang sama.
وَرَجُلٌ آتَاهُ
اللَّهُ مَالًا وَلَمْ يُؤْتِهِ عِلْمًا فَهُوَ يَخْبِطُ فِي مَالِهِ بِغَيْرِ
عِلْمٍ لَا يَتَّقِي فِيهِ رَبَّهُ وَلَا يَصِلُ فِيهِ رَحِمَهُ وَلَا يَعْلَمُ
لِلَّهِ فِيهِ حَقًّا فَهُوَ بِأَخْبَثِ الْمَنَازِلِ
Ketiga, seorang yang Allah beri
harta tapi tidak diberi ilmu. Ia membelanjakan hartanya tanpa petunjuk, tidak
bertakwa kepada Tuhannya, tidak menyambung silaturahmi, dan tidak mengetahui
hak Allah dalam hartanya. Maka ia berada pada kedudukan yang paling buruk.
وَرَجُلٌ لَمْ
يُؤْتِهِ اللَّهُ مَالًا وَلَا عِلْمًا فَهُوَ يَقُولُ لَوْ أَنَّ لِي مَالًا
لَعَمِلْتُ فِيهِ بِعَمَلِ فُلَانٍ فَهُوَ بِنِيَّتِهِ فَهُمَا فِي الْوِزْرِ
سَوَاءٌ
Keempat, seorang yang Allah tidak beri harta dan tidak pula ilmu. Ia berkata:
‘Seandainya aku punya harta, niscaya akan kuperbuat seperti perbuatan si fulan
(yang buruk).’ Maka dengan niat itu ia mendapat dosa yang sama.”
(HR. Tirmidzi, sahih)
Hadits ini menegaskan: kaya bukan
sekadar soal angka di rekening, melainkan soal ilmu, niat, dan cara mengelola
harta. Kaya yang berilmu dan bersyukur akan menjadi mulia, sebaliknya kaya
tanpa ilmu bisa terjerumus dalam kebinasaan.
Hamka, dalam Tafsir Al-Azhar,
ketika menafsirkan firman Allah:
وَابْتَغِ
فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا
“Carilah dengan apa yang Allah anugerahkan kepadamu kebahagiaan negeri
akhirat, dan janganlah engkau lupakan bagianmu dari dunia” (QS. Al-Qashash:
77),
menegaskan bahwa Islam tidak
mengharamkan kekayaan. Justru Allah menganugerahkan rezeki agar manusia dapat
menikmatinya secukupnya, lalu membagi selebihnya untuk orang lain. Dunia boleh
diraih, tetapi jangan lupa akhirat sebagai tujuan utama.
Di zaman ketika kesenjangan ekonomi
kian menganga, kisah-kisah ini terasa semakin relevan. Bahwa kekayaan bisa
menjadi jalan menuju surga bila disyukuri, didermakan, dan dijadikan amal
jariyah. Dari Wardah hingga Yusuf Hamka, dari Madinah abad ke-7 hingga Jakarta
abad ke-21, jejaknya sama: kaya bukan untuk dipuja, melainkan untuk berbagi.
Video
Guru dan Karyawan
Data Guru tidak ada