
Jihad Sunyi Pencari Ilmu
Setiap pagi, kota berdenyut oleh
jutaan langkah. Anak-anak menenteng ransel, mahasiswa mengejar jam kuliah, guru
menyiapkan papan tulis. Dunia tampak berputar karena manusia belajar. Tapi
benarkah semua langkah itu menuju Allah?
Dalam Riyadhus Shalihin, Imam
an-Nawawi menulis bab Fadhlu al-‘Ilmi Ta’alluman wa Ta’liman Lillah —
tentang keutamaan ilmu karena Allah. Ia memulai dengan sebuah hadis yang
menegaskan nilai langkah kecil menuju ilmu:
مَنْ خَرَجَ فِي
طَلَبِ الْعِلْمِ فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ حَتَّى يَرْجِعَ
Barang siapa keluar untuk menuntut
ilmu, maka ia berada di jalan Allah hingga ia kembali.
(HR. Tirmidzi)
Hadis ini meneguhkan satu kebenaran
yang sering terlupa: belajar adalah jihad.
Bukan dengan senjata, melainkan dengan niat yang lurus — dengan sabar mencari
kebenaran di tengah kebingungan zaman.
Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar
menulis, “Ilmu itu pelita, tapi pelita tak akan menyala di hati yang kotor.”
Kata-kata itu seperti air yang menenangkan sekaligus menampar.
Bahwa ilmu sejati tak akan tumbuh di hati yang dipenuhi pamrih dan kebanggaan
palsu.
Ilmu hanya akan bercahaya bila dicari karena Allah, bukan karena gengsi.
Ketika
Belajar Tak Lagi Bermakna
Di masa kini, cahaya ilmu sering
redup di bawah sorotan layar gawai.
Mahasiswa terhimpit tekanan nilai dan biaya hidup; pelajar terjebak antara
cita-cita dan realitas.
Ada yang kuliah demi gelar, bukan karena ingin mengerti.
Ada yang menyontek demi nilai, bukan demi ilmu.
Ada pula yang menjual ijazah, seolah kehormatan akademik bisa dibeli dengan
uang.
Bahkan fakultas-fakultas ilmu dasar
mulai sepi peminat, karena dianggap tak “menguntungkan”.
Sementara gelombang pengangguran terdidik terus membengkak — ironi di tengah
negeri yang katanya menjunjung pendidikan.
Dan di pesantren-pesantren, santri belajar dalam kesederhanaan, kadang sampai
nyawa melayang karena bangunan yang tak kokoh.
Di tengah semua itu, semangat
menuntut ilmu sering kehilangan makna.
Belajar berubah menjadi ritual rutin tanpa ruh.
Padahal, Nabi ﷺ telah berpesan: siapa pun yang keluar mencari ilmu, ia tengah
berjalan di jalan Allah.
Artinya, sekecil apa pun langkahmu — asal jujur dan lillah — tetap bernilai
jihad.
Cermin
dari Masa Lalu
Lihatlah Umar bin Khattab, berjalan
berhari-hari hanya untuk mendengar satu hadis.
Atau Imam Ahmad bin Hanbal yang menyeberangi padang pasir menuju Yaman demi
satu riwayat sahih.
Mereka tidak membawa CV, tak menulis “portofolio”, dan tidak menunggu validasi
publik.
Mereka belajar karena haus akan kebenaran, bukan karena kejar gelar.
Begitu pula para ilmuwan Muslim —
Ibnu Sina, Al-Khawarizmi, Al-Biruni.
Mereka meneliti dalam sunyi, di ruang sempit tanpa listrik dan pendingin
ruangan.
Tak ada “like”, tak ada “followers”, tapi hasilnya menerangi dunia hingga kini.
Kejujuran dan keikhlasan mereka menjadi energi yang tak lekang oleh waktu.
Refleksi
Kekinian
Hari ini, pelajar bukan hanya
menghadapi ujian di kertas, tapi juga ujian di layar.
Tekanan sosial, kecanduan informasi, dan hilangnya arah membuat belajar terasa
hampa.
Namun hadis Nabi itu masih hidup: Barang siapa keluar untuk menuntut ilmu,
ia berada di jalan Allah.
Solusinya bukan sekadar reformasi
kurikulum, tapi revolusi niat.
Belajar harus kembali menjadi ibadah, bukan kompetisi.
Ilmu harus kembali menjadi cahaya, bukan hiasan.
Karena belajar sejati bukanlah
perlombaan menuju gelar, tapi perjalanan menuju ridha-Nya.
Dan siapa pun yang melangkah ke sana — meski pelan, meski tertatih — tetap
dicatat oleh malaikat sebagai pejuang dalam jihad sunyi pencarian ilmu
Video
Guru dan Karyawan
Data Guru tidak ada