
Di Ujung Lelah
(Refleksi
atas Bab 67 Kitab Riyadhus Shalihin: Larangan Meminta Mati)
Pagi itu, ruang chemo di rumah sakit
penuh aroma antiseptik dan doa yang tak terucap. Seorang perempuan duduk di
kursi besi, selang infus menetes perlahan di lengannya. Di wajahnya, sisa-sisa
lelah bercampur pasrah. Setiap tetes cairan itu adalah pertempuran — antara
hidup dan mati, antara takut dan harap.
Namanya Ibu Rini. Tiga tahun lalu
dokter mengatakan: “Stadium empat.” Sejak itu, hidupnya seperti diulang dalam
lingkaran rumah, rumah sakit, dan ruang tunggu. Tubuhnya kian lemah, tapi satu
hal belum ia biarkan tumbang: hatinya.
“Kadang aku capek, Mas,” ujarnya
pelan. “Sakitnya bukan cuma di tubuh. Tapi di hati… tiap kali lihat anak-anakku
masih butuh aku.”
Lalu ia menatap ke luar jendela. “Tapi aku nggak mau minta mati. Aku cuma minta
kuat.”
Di Riyadhus Shalihin, Bab
ke-67, Imam an-Nawawi menulis sebuah larangan yang terasa begitu halus —
larangan untuk berdoa minta mati hanya karena penderitaan dunia.
Rasulullah ﷺ bersabda:
قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ ﷺ :
Rasulullah ﷺ bersabda:
لَا يَتَمَنَّيَنَّ
أَحَدُكُمُ الْمَوْتَ لِضُرٍّ نَزَلَ بِهِ
Janganlah salah seorang di antara kalian mengharapkan kematian karena
penderitaan yang menimpanya,
فَإِنْ كَانَ لَا
بُدَّ فَاعِلًا، فَلْيَقُلِ:
Jika ia tetap ingin berdoa, maka hendaklah ia berkata:
اللَّهُمَّ
أَحْيِنِي مَا كَانَتِ الْحَيَاةُ خَيْرًا لِي، وَتَوَفَّنِي إِذَا كَانَتِ
الْوَفَاةُ خَيْرًا لِي
Ya Allah, hidupkanlah aku selama hidup ini lebih baik bagiku, dan
wafatkanlah aku bila kematian lebih baik bagiku.
(HR. Bukhari dan Muslim)
Bagi orang seperti Ibu Rini, sabda
ini bukan sekadar kalimat suci — tapi pegangan di tengah badai. Karena siapa
pun yang pernah merasakan nyeri berkepanjangan tahu: rasa sakit kadang membuat
lidah ingin berkata “selesai saja.” Tapi iman menahan, sebab Nabi ﷺ sendiri
mengingatkan, hidup bukan sekadar menunggu ajal, tapi kesempatan untuk tetap
berbuat baik walau dengan tubuh yang lemah.
Tidak semua luka berbentuk penyakit.
Ada juga mereka yang sehat tapi ingin menyerah karena dikejar hutang,
kehilangan pekerjaan, atau anak yang harus berhenti sekolah karena biaya.
Setiap hari, di tengah lalu lintas dan tagihan, banyak yang berbisik dalam
hati:
“Kalau begini terus, lebih baik mati
saja…”
Padahal, ayat Al-Qur’an mengingatkan
dengan nada kasih:
وَلَا تَقْتُلُوا
أَنْفُسَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu sendiri.
Sungguh, Allah Maha Penyayang kepadamu.”
(QS. An-Nisa’ [4]: 29)
Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar
menulis, ayat ini bukan hanya larangan mengakhiri hidup, tapi juga larangan
mematikan semangat hidup.
“Karena kasih sayang Allah,” tulis
beliau, “lebih besar dari rasa putus asa manusia.”
Ibu Rini bukan satu-satunya pejuang.
Ada Bapak Arman, pegawai yang terkena PHK setelah 18 tahun kerja. Mobilnya
disita, anaknya mau masuk kuliah, dan debt collector masih mengetuk pagar
setiap sore. Dalam sepi, ia sering menatap langit dan bergumam,
“Kalau bukan karena anak-anak,
mungkin aku sudah menyerah.”
Namun justru dalam keputusasaan itu,
doa Nabi ﷺ tadi menjadi jangkar:
“Ya Allah,
hidupkan aku bila hidup ini lebih baik bagiku…”
Kata “baik” itu yang menahan Arman.
Barangkali Allah belum mencabut nyawa, karena masih ada kebaikan yang harus ia
tunaikan — entah mendidik anaknya, menolong orang lain, atau sekadar tersenyum
untuk menenangkan istri yang gelisah.
Hadits ini, sejatinya, bukan sekadar
larangan. Ia adalah bentuk kelembutan Allah.
Bahwa bahkan ketika manusia terpuruk, Allah masih ingin mereka berdoa, bukan
berputus asa.
Bahwa sabar bukan berarti diam, tapi tetap melangkah — meski pelan, meski
sambil menangis.
Seperti Ibu Rini yang kini berjalan
pelan keluar dari ruang chemo. Ia tersenyum kecil. “Kalau hari ini masih bisa
lihat matahari,” katanya, “berarti Allah masih percaya aku kuat.”
Dan di situlah makna sejati dari
hadits Nabi ﷺ itu hidup — bukan di buku, tapi di dada mereka yang memilih
bertahan, meski dunia rasanya tak lagi berpihak
Video
Guru dan Karyawan
Data Guru tidak ada