MENYEMBELIH HEWAN, MENAKLUKKAN HATI

Di bulan Dzulhijjah ini, gema takbir dan semangat berkurban kembali menggema di langit dan bumi. Umat Islam di seluruh penjuru dunia bersiap menyambut ibadah yang sarat makna ini. Di tengah semangat menyiapkan hewan dan agenda penyembelihan, ada satu hal yang kerap terlupa: bahwa sebelum hewan disembelih, hati harus lebih dulu ditundukkan — dari kesombongan, dari rasa ingin dipuji, dari segala yang bisa merusak niat.

Allah mengingatkan kita dalam firman-Nya yang sangat dalam namun lembut:

لَن يَنَالَ ٱللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَآؤُهَا وَلَـٰكِن يَنَالُهُ ٱلتَّقْوَىٰ مِنكُمْ ۚ كَذَٰلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا۟ ٱللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَىٰكُمْ ۗ وَبَشِّرِ ٱلْمُحْسِنِينَ
“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kalian...”
(QS. Al-Hajj: 37)

Ayat ini seolah membangunkan kita dari rutinitas tahunan: bahwa tujuan kurban bukan sekadar menyembelih, bukan pula agar dagingnya dinikmati. Tapi tentang bagaimana hati ini tulus dalam menjalankan perintah-Nya.

Namun realitanya, godaan selalu mengintai. Banyak yang berkurban bukan karena semata-mata ingin dekat dengan Allah, melainkan ingin terlihat dermawan. Menyumbang sapi, lalu berharap disebut di mimbar. Mengunggah foto saat penyembelihan, tapi lupa menundukkan hati. Bahkan dalam balutan amal saleh, keinginan untuk dipuji kadang menyelinap diam-diam. Dalam sunyi hati, ada hasrat eksistensi yang tak disadari.

Dan godaan itu tak hanya datang untuk pekurban. Panitia kurban pun tak luput dari ujian. Di balik sibuknya mereka mengatur distribusi dan pelaksanaan, kadang terbersit perasaan paling berjasa, paling layak diberi lebih, atau paling pantas disebut-sebut. Padahal, menurut fikih, panitia kurban bukan seperti amil zakat yang punya hak tertentu. Mereka adalah wakil, relawan — yang seharusnya bekerja diam-diam, penuh amanah, tanpa berharap sorotan.

Untuk memahami ini, kita perlu melihat ke masa Rasulullah ﷺ. Saat itu, pelaksanaan kurban begitu sederhana. Nabi menyembelih sendiri hewannya, membagikan dagingnya, dan menyebut nama Allah dengan penuh khusyuk. Para sahabat mengikuti jejak itu — semuanya dilakukan langsung, penuh ketulusan, tanpa dokumentasi, tanpa pengumuman.

Tetapi zaman terus bergerak. Kota bertumbuh, jumlah umat meningkat, dan dinamika sosial pun makin kompleks. Tak semua orang bisa menyembelih sendiri, atau tahu cara membagikan daging secara adil. Maka lahirlah sistem panitia: sebagai wakil umat, membantu teknis pelaksanaan agar ibadah tetap berjalan tertib, aman, dan merata.

Munculnya panitia bukan demi kemegahan. Tapi karena kebutuhan. Agar kurban tetap bisa dilakukan dengan layak, syariatnya dijaga, dan dagingnya benar-benar sampai ke tangan yang berhak. Tapi sebesar apa pun sistemnya, ruh ibadah tetap harus dijaga. Sistem hanya alat. Ikhlas adalah inti.

Dalam hubungan ini, pekurban dan panitia terikat oleh akad wakalah — perwakilan. Pekurban menyerahkan dana atau hewan, dan memberi mandat kepada panitia untuk menyembelih serta membagikannya atas nama mereka. Dari sinilah tanggung jawab dimulai.

Bagi pekurban, tugasnya tak berhenti pada menyerahkan hewan. Ia harus menjaga niat tetap bersih, tak mengharap pujian, dan memastikan penyerahan itu dilakukan dengan jelas. Ia juga berhak tahu bagaimana kurbannya dijalankan, dan boleh mengambil sebagian daging jika bukan kurban nazar.

Bagi panitia, amanah itu harus dijaga. Mereka tidak boleh mengambil upah dari daging kurban. Jika memang ingin diberi imbalan, maka harus dipisahkan dari dana kurban. Mereka harus transparan, jujur, dan tidak merasa lebih utama dari yang lainnya. Karena pada akhirnya, semua ini ibadah — bukan pekerjaan duniawi.

Kolaborasi ini bukan soal logistik semata. Tapi soal spiritualitas bersama. Di mana dua pihak diuji: pekurban dengan niatnya, panitia dengan amanahnya. Apakah semua benar karena Allah, atau hanya untuk citra?

Ibnu Qayyim rahimahullah pernah mengingatkan:

“Amal yang tidak disertai ikhlas dan mutaba’ah (mengikuti sunnah) adalah tertolak, walau tampak megah.”
(Al-Fawāid)

Menjaga keikhlasan jauh lebih sulit daripada menyembelih hewan. Karena daging hanya sekali ditebas. Tapi ego, ia harus ditebas berkali-kali — dalam senyap, dalam batin, dalam niat.

Syekh As-Sa’di juga menegaskan bahwa Allah tak melihat bentuk lahiriahnya, tapi ketakwaan yang melandasinya. Maka bukan seberapa besar hewan yang disembelih, bukan pula seberapa megah panitianya. Tapi seberapa dalam niat yang tersembunyi di hati kita.

Tak peduli kurban itu di masjid kampung atau masjid raya. Ikhlas bisa tumbuh di tempat sederhana, dan bisa hilang dalam sorotan kamera. Yang membedakan hanya satu: niat.

Rasulullah ﷺ bersabda:

إِنَّمَا ٱلْأَعْمَالُ بِٱلنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ ٱمْرِئٍ مَا نَوَى
Innamā al-a‘mālu bin-niyyāt, wa innamā likulli imri`in mā nawa
“Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya, dan setiap orang hanya mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan.”
(HR. Bukhari & Muslim)

Seekor kambing yang disembelih dengan niat tulus, bisa lebih berat timbangannya di sisi Allah daripada seratus ekor sapi yang dibeli demi pujian.

Imam Al-Ghazali juga berkata:

“Setiap amal yang dilakukan bukan karena Allah, adalah debu yang ditiup angin.”
(Ihya’ ‘Ulumuddin)

Maka mari bertanya pada diri: kurban ini untuk siapa? Untuk Allah, atau agar disebut dermawan? Apakah kita sedang menyembelih hewan, atau justru sedang menyembelih rasa ingin dihormati?

Kurban adalah ibadah lahiriah yang indah. Tapi tanpa ikhlas, ia hanya menjadi ritual tahunan tanpa ruh. Panitia harus sadar, mereka pelaksana amanah, bukan pemilik panggung. Pekurban pun harus ingat, Allah tak melihat hewan — tapi niat yang mengiringinya.

Semoga setiap tetes darah yang jatuh menjadi saksi keikhlasan. Semoga kurban kita tak hanya diterima secara lahir, tapi juga dibalas dengan pahala karena batin kita benar-benar tunduk.

Karena Allah telah berfirman:

لَن يَنَالَ ٱللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَآؤُهَا وَلَـٰكِن يَنَالُهُ ٱلتَّقْوَىٰ مِنكُمْ
“…Tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kalian.”
(QS. Al-Hajj: 37)

Mari jadikan Idul Adha ini bukan sekadar pesta daging,
tetapi juga pesta hati yang tulus,
untuk Allah semata.

Video



    
   

Guru dan Karyawan


Data Guru tidak ada

PPDB 2025-2026


Follow us


Kontak


Alamat :

Jl Dadali No. 12 Randugunting

Telepon :

0283 4534 123 - 0852-2527-3641

Email :

humaspsb2019@gmail.com

Website :

www.biastegal.sch.id

Media Sosial :

Banner


Visitor