Tidak Harus Terlihat Hebat
Refleksi
Riyadhus Shalihin — Bab 72: Haramnya Takabur
Di sebuah ruang operasi yang dingin dan
terang, seorang dokter bedah senior sedang mempersiapkan tindakan. Seorang perawat muda baru saja melakukan kesalahan kecil dalam penataan
alat. Situasinya bisa saja tegang. Namun dokter itu
tidak meninggikan suara, tidak memperlihatkan kehebatan ilmunya.
Ia menepuk pelan lengan perawat itu,
sambil berkata:
“Tidak apa-apa. Kita belajar bersama.
Yang penting pasien selamat.”
Ia tidak harus terlihat hebat, untuk
benar-benar hebat.
Di perempatan Jakarta yang ramai,
kendaraan bersahutan dan langkah-langkah seperti berkejaran dengan waktu. Di
tengah keramaian itu, seorang pemuda menghentikan langkahnya ketika melihat
seorang kakek berusia sekitar delapan puluh tahun berdiri ragu di tepi zebra
cross.
Tanpa banyak kata, ia berkata lembut:
“Sini Kek, pelan-pelan ya. Saya temani.”
Langkahnya menyesuaikan langkah kaki
yang gemetar.
Tidak ada kamera. Tidak ada tepuk tangan.
Hanya kebaikan yang berjalan pelan.
Dua adegan ini seolah jauh berbeda:
satu di ruang operasi, satu di jalanan kota.
Namun keduanya menyimpan satu pelajaran
yang sama:
Kita tidak harus terlihat hebat untuk
melakukan kebaikan.
Dalam kerendahan hati-lah kemuliaan bertumbuh.
عَنْ عَبْدِ
اللهِ بْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ ﷺ:
Dari Abdullah bin Mas‘ud radhiyallāhu ‘anhu berkata, Rasulullah ﷺ bersabda:
لَا
يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ
“Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya
terdapat seberat biji zarrah kesombongan.”
Seorang sahabat bertanya:
فَقَالَ
رَجُلٌ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ
حَسَنًا، وَنَعْلُهُ حَسَنَةً؟
“Wahai Rasulullah, bagaimana jika seseorang suka
memakai pakaian dan sandal yang bagus?”
Beliau menjawab dengan keseimbangan:
فَقَالَ ﷺ:
إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ
“Sesungguhnya Allah Maha Indah dan mencintai
keindahan.”
Lalu menjelaskan inti masalahnya:
الْكِبْرُ
بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ
“Kesombongan adalah menolak kebenaran dan merendahkan
manusia.”
(HR. Muslim)
Sementara Buya Hamka dalam Tafsir
Al-Azhar menjelaskan bahwa kesombongan bukan tampak dari cara berjalan atau
pakaian seseorang, tapi dari cara hati memandang dirinya sendiri.
Orang yang sombong sebenarnya bukan sedang meninggikan dirinya — ia sedang
memisahkan dirinya dari manusia lain.
Dan ketika hati mulai merasa “lebih”, maka terputuslah hubungan antara dirinya
dengan Allah, dan rengganglah hubungan antara dirinya dengan manusia.
Karena itu, Al-Qur’an menegaskan
penjelasan Nabi ﷺ tadi dengan bahasa yang jernih namun dalam.
وَلَا
تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحًا ۖ
“Dan janganlah engkau berjalan di muka bumi dengan
sombong.”
إِنَّكَ
لَنْ تَخْرِقَ الْأَرْضَ وَلَنْ تَبْلُغَ الْجِبَالَ طُولًا
“Karena engkau tidak akan menembus bumi dan tidak akan
setinggi gunung.”
(QS. Al-Isrā’: 37)
Seolah Al-Qur’an berkata:
Engkau kecil, tapi engkau mulia bila
hatimu rendah.
Kita hidup di zaman yang menuntut untuk
terlihat hebat:
hebat di pekerjaan, hebat di media sosial, hebat dalam citra.
Padahal seringkali: yang paling berharga
adalah kebaikan yang tidak perlu disaksikan siapa pun.
Karena
kemuliaan bukan pada apa yang terlihat,tapi apa yang kita lakukan ketika tidak
ada yang melihat.
اللَّهُمَّ طَهِّرْ قُلُوبَنَا مِنَ
الْكِبْرِ وَالْغُرُورِ وَالْعُجْبِ
Ya Allah, bersihkan hati kami dari kesombongan, merasa
paling benar, dan merasa paling tinggi.
آمِينَ يَا
رَبَّ الْعَالَمِينَ
Video
Guru dan Karyawan
Data Guru tidak ada






