Sendiri Bukan Berarti Sepi
Refleksi Bab
69 Riyadhus Shalihin: Sunah Menyendiri Saat Banyak Fitnah
Di masa ketika setiap langkah hidup
kita terasa disorot layar, ada seorang guru yang memilih langkah sunyi.
Ia tidak lagi betah berlama-lama di ruang guru ketika obrolan mulai bergeser —
dari rapat kurikulum ke kabar miring tentang wali murid, dari pembicaraan murid
ke celaan rekan sejawat.
Ia pamit pelan, mengambil wudhu, lalu duduk di musala sekolah, menatap
langit-langit yang tenang.
Di sana ia berzikir lirih, memohon agar hatinya tetap bersih.
Seorang teman bertanya, “Kamu kok
sering menyendiri sekarang?”
Ia tersenyum, “Bukan menjauh, aku sedang menjaga.”
Rasulullah ﷺ bersabda:
يُوشِكُ
أَنْ يَكُونَ خَيْرُ مَالِ الْمُسْلِمِ غَنَمٌ يَتَّبِعُ بِهَا شَعَفَ الْجِبَالِ
وَمَوَاقِعَ الْقَطْرِ، يَفِرُّ بِدِينِهِ مِنَ الْفِتَنِ
“Akan datang suatu masa, sebaik-baik harta seorang Muslim adalah kambing
yang digembalakannya di puncak gunung dan tempat turunnya hujan; ia menjauhi
manusia demi menyelamatkan agamanya dari fitnah.”
(HR. Bukhari)
Hadis ini bukan ajakan untuk hidup
antisosial, tapi peringatan lembut agar kita tahu kapan harus menepi
demi menjaga iman.
Dalam istilah ulama, sikap ini disebut “uzlah” (العزلة) — yakni menyendiri dari perkara
yang dapat menjerumuskan hati pada dosa, tanpa meninggalkan kewajiban hidup dan
tanggung jawab sosial.
🌿 Apa itu Uzlah di Zaman Sekarang?
Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar
menulis:
“Uzlah bukanlah mengasingkan diri
dari manusia, tetapi mengasingkan diri dari dosa yang dilakukan manusia.”
Uzlah bisa berarti mengambil
jarak batin dari hal-hal yang membuat hati gelap: gosip, dengki, debat
tanpa ilmu, atau komentar yang tak perlu.
Dan bentuknya kini sangat dekat dengan keseharian kita.
Seorang guru yang memilih diam
ketika teman sejawat mulai bergosip — itu uzlah.
Seorang kepala sekolah yang menahan diri untuk tidak membalas sindiran dengan
sindiran — itu uzlah.
Seorang pegawai kantor yang memilih bekerja dalam tenang, tidak ikut menyebar
berita miring tentang atasan — itu uzlah.
Bahkan seorang warga biasa yang menutup ponselnya saat obrolan grup mulai
berisi gunjingan — juga sedang beruzlah.
Uzlah bukan berarti lari, tapi memilih
jalan selamat bagi hati.
Ia adalah ruang hening tempat kita memperbaiki niat, menata ulang arah hidup,
dan menyalakan kembali cahaya iman.
Allah ﷻ berfirman:
فَفِرُّوا
إِلَى اللَّهِ ۖ إِنِّي لَكُمْ مِنْهُ نَذِيرٌ مُبِينٌ
“Maka segeralah kembali kepada (ketaatan) Allah. Sesungguhnya Aku pemberi
peringatan yang nyata untukmu.”
(QS. Adz-Dzāriyāt [51]: 50)
Dalam tafsir Al-Azhar, Buya
Hamka menulis:
“Larilah kepada Allah dari kesesatan
manusia. Larilah dari dosa menuju ampunan. Lari dari hiruk pikuk dunia, untuk
sejenak mendengarkan suara hati yang memanggil kepada Tuhan.”
Maka, ketika seorang guru diam dan
berzikir di sela jam kosong — itu bukan sepi, tapi perjalanan kecil menuju
Allah.
Ketika seorang karyawan menahan diri dari gosip kantor — itu bukan kaku, tapi
cara menjaga iman agar tidak retak oleh fitnah.
Kadang keberanian terbesar bukan
maju ke tengah keramaian, tapi mundur sejenak untuk menjaga kejernihan hati.
Karena sendiri bukan berarti sepi — bisa jadi, di sanalah Allah paling dekat
dengan kita.
اللَّهُمَّ
اجْعَلْ خَلْوَتَنَا ذِكْرًا، وَسُكُونَنَا طَاعَةً، وَاجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا
نُورًا يَهْدِينَا إِلَيْكَ
Allāhumma aj‘al khalwatanā dzikran, wa sukūnanā thā‘atan, wa aj‘al fī
qulūbinā nūran yahdīnā ilaik.
“Ya Allah, jadikanlah kesendirian kami penuh zikir, ketenangan kami sebagai
ketaatan, dan tanamkan cahaya di hati kami yang menuntun kami kembali
kepada-Mu.”
Video
Guru dan Karyawan
Data Guru tidak ada






