Ketika Semua Tidak Harus Berbalas
Refleksi
Riyadhus Shalihin — Bab 73: Akhlak Mulia
Di Pasar Anyar,
seorang pedagang baju membuka lapaknya sebelum fajar selesai menarik garis
pertama cahaya. Ia mengatur kancing-kancing, merapikan lengan pakaian, menyusun
jilbab seperti membelai anak yang baru bangun tidur. Senyumnya tidak
dibuat-buat — ia hidup dari kebiasaan syukur yang lama.
Seorang pembeli
datang.
Matanya sayu. Barangkali semalam tidak tidur. Barangkali hidupnya sedang berat.
Ia mengambil
satu baju, menimbang, menggantungkan lagi.
Mengulang. Mengulang lagi.
Menyentuh kain seolah lebih banyak ragu daripada uangnya.
Dan saat ia
menawar —
harganya bahkan lebih rendah dari modal.
Di pasar, harga
bisa lebih keras dari kata-kata.
Tapi pedagang itu hanya tersenyum pelan.
Tidak naik nada. Tidak melipat wajah.
“Belum boleh
harga itu, Nak. Tapi terima kasih sudah singgah.
Semangat ya. Semoga rezekinya lapang.”
Tidak ada
pelajaran.
Tidak ada nasihat.
Tidak ada kalimat panjang yang memaksa orang belajar.
Tapi yang
menyaksikan belajar.
Bahwa akhlak
mulia bukan apa yang kita lakukan ketika dihargai.
Akhlak mulia adalah apa yang tetap kita lakukan ketika tidak dihargai.
Contoh lain
yang lebih sunyi.
Seorang lelaki
menjaga kebersihan masjid setiap pagi.
Ia datang sebelum subuh, saat adzan masih berupa niat di dada muadzin.
Ia mengangkat karpet, menyapu sajadah, menata sandal-sandal yang tidak pernah
mencatat nama pemiliknya.
Seorang jamaah
masuk dan berkata:
“Mas, itu sudut
karpetnya masih kurang bersih.”
Jika hati tidak
terlatih, kalimat sekecil itu bisa jadi pedang.
Tapi lelaki itu
hanya menjawab:
“Iya, Pak.
Terima kasih. Nanti saya benahi.”
Tidak
tersinggung.
Tidak membela diri.
Karena ia
tidak sedang mencari pujian.
Ia sedang menata hatinya agar tetap peka pada Allah.
عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ ﷺ قَالَ:
Dari Abu Dardā’ radhiyallāhu ‘anhu, Nabi ﷺ bersabda:
مَا مِنْ شَيْءٍ يُوضَعُ فِي الْمِيزَانِ أَثْقَلُ مِنْ حُسْنِ الْخُلُقِ
“Tidak ada sesuatu yang lebih berat dalam timbangan amal daripada akhlak yang
baik.”
وَإِنَّ صَاحِبَ حُسْنِ الْخُلُقِ لَيَبْلُغُ دَرَجَةَ صَاحِبِ الصَّوْمِ
وَالصَّلَاةِ
“Dan orang yang berakhlak baik
akan mencapai derajat orang yang berpuasa dan shalat (sunnah) terus-menerus.”
(HR. Tirmidzi, no. 2003)
Buya Hamka
pernah menulis dalam Tafsir Al-Azhar:
“Akhlak yang
baik lahir dari hati yang telah merasa cukup bersama Allah.
Maka ia tidak mempersoalkan bagaimana manusia memperlakukannya.”
Artinya:
Akhlak mulia bukan reaksi.
Ia adalah keadaan hati.
Ia ada sebelum
orang lain berlaku baik.
Ia tetap ada bahkan ketika orang berlaku tidak baik.
وَإِنَّكَ
لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ
“Dan sungguh, engkau (Wahai
Muhammad) berada di atas budi pekerti yang agung.”
(QS. Al-Qalam: 4)
Ayat ini bukan
sekadar pujian.
Ia adalah undangan untuk menapak jejaknya.
Kadang kita
ingin dihargai.
Kadang kita ingin dipahami.
Kadang kita ingin dianggap baik.
Tapi kemuliaan
sejati lahir saat kita berkata pada diri sendiri:
Aku berbuat
baik bukan karena orang lain membalas.
Aku berbuat baik karena hatiku meminta demikian.
Dan pada
akhirnya:
Tidak semua
harus berbalas.
Yang penting: kita tidak kehilangan jiwa kita ketika berbuat baik.
اللهم زَيِّنَّا بِحُسْنِ الْخُلُقِ
Ya Allah, hiasilah kami dengan
akhlak yang mulia.
آمِينَ
Video
Guru dan Karyawan
Data Guru tidak ada






