Neraka Pun Enggan Menyentuh Mereka
Subuh belum sepenuhnya terang di
Masjid Patma Binti Suhari, Desa Curug. Dari balik pintu kayu tua, seorang
lelaki paruh baya menata sandal-sandal jamaah satu per satu. Gerakannya pelan,
matanya teduh, bibirnya berzikir lirih. Tak banyak yang memperhatikan, tapi
ketenangannya menular.
Ia bukan ustaz, bukan takmir, hanya jamaah biasa yang membuat siapa pun betah
duduk di dekatnya.
Hadis Nabi ﷺ yang dibacakan usai
taklim subuh terasa seperti bicara langsung tentang dirinya:
عَنْ عَبْدِ اللهِ
بْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ قَالَ:
«أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِمَنْ يَحْرُمُ عَلَى النَّارِ
أَوْ بِمَنْ تَحْرُمُ عَلَيْهِ النَّارُ؟ عَلَى كُلِّ قَرِيبٍ هَيِّنٍ سَهْلٍ»
(رواه الترمذي، حديث حسن صحيح)
“Maukah aku
kabarkan kepada kalian tentang orang yang diharamkan dari api neraka, atau yang
neraka diharamkan atasnya? Yaitu orang yang dekat, lembut, dan memudahkan
urusan orang lain.”
(HR.
TARMIDI)
Tiga sifat itu — qarīb, hayyin,
sahl — terdengar sederhana, tapi nyatanya mulai langka di dunia yang serba
tergesa.
Qarīb
— Dekat Tanpa Banyak Bicara
Di setiap masjid selalu ada sosok
seperti Pak Rahmat. Tidak menonjol, tapi dirindukan. Ia menyapa tanpa basa-basi, membantu tanpa
diminta. Anak-anak suka duduk di sampingnya karena wajahnya menenangkan.
Itulah qarīb: dekat, hangat, tanpa jarak.
Rasulullah ﷺ juga begitu. Beliau tak pernah
membiarkan seseorang lewat tanpa salam. Beliau menatap orang dengan penuh
perhatian, seolah hanya orang itu yang ada di hadapannya.
Sahabat Abdullah bin Rawahah pun meniru sang Nabi — selalu menyapa siapa pun di
jalan, bahkan anak-anak kecil.
Buya Hamka
dalam Tafsir Al-Azhar menjelaskan makna kelembutan Rasulullah ketika
menafsirkan ayat:
“فَبِمَا
رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ، وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ
لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ”
“Maka dengan rahmat dari Allah
engkau (Muhammad) bersikap lemah lembut kepada mereka. Sekiranya engkau
bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauh dari sekitarmu.” (Ali ‘Imran: 159)
Menurut Hamka, kelembutan Rasulullah
adalah “buah dari iman dan tanda bahwa jiwa telah matang.” Beliau menulis,
“Sifat lunak
itu lahir dari rahmat Allah dalam hati. Jika hati keras, orang akan lari. Tapi
jika hati lembut, orang akan datang dengan cinta.”
Menjadi qarīb
berarti menghadirkan diri kita di hati orang lain. Tak perlu kata-kata besar,
cukup ketulusan kecil yang terasa.
Hayyin — Lembut yang Menyembuhkan
Di ruang
perawatan rumah sakit, seorang perawat menggenggam tangan pasien tua yang
gelisah.
“Tenang ya, Pak. Obatnya sebentar lagi datang,” ucapnya pelan.
Kalimat sederhana, tapi penuh makna. Kadang, kelembutan bisa lebih ampuh dari
obat manapun.
Rasulullah ﷺ juga mencontohkan hayyin yang
menenangkan. Suatu hari, seorang Badui datang ke masjid dan kencing di
dalamnya. Para sahabat marah, tapi Nabi menahan mereka.
“Biarkan dia,” sabdanya lembut, “kemudian siramlah tempat itu dengan air.”
Setelah itu, beliau menasihati si Badui dengan sabar.
Tak ada bentakan, tak ada celaan. Dan yang terjadi? Si Badui malah mendoakan
Nabi, karena hatinya tersentuh oleh kelembutan itu.
Dalam Tafsir
Al-Azhar, Buya Hamka menggambarkan akhlak ini sebagai “ketenangan batin
yang menundukkan kemarahan orang lain.”
Katanya, “Kelembutan itu menyejukkan. Ia menembus hati lebih dalam daripada
logika. Orang yang lembut tidak kehilangan wibawa, justru bertambah disegani.”
Hayyin bukan sekadar sopan santun — ia adalah
kekuatan jiwa. Orang yang hayyin tidak tergesa menilai, tidak mudah
marah, dan tidak membalas kasar dengan kasar. Dalam pelayanan, pengajaran,
bahkan rumah tangga, kelembutan adalah bahasa kasih yang paling universal.
Sahl — Memudahkan, Bukan Menyulitkan
Pagi di kantor
pajak selalu sibuk. Antrean
panjang, wajah-wajah tegang.
Tapi di loket informasi, ada seorang pegawai muda yang tetap tersenyum. Ia menjawab pertanyaan yang sama
berkali-kali tanpa menunjukkan jengkel. “Pelan-pelan saja, Pak, saya bantu
isi.”
Ia sedang menjalani peran sebagai sahl — orang yang memudahkan urusan
orang lain.
Begitulah juga Rasulullah ﷺ. Ketika
seorang sahabat bernama Mu‘awiyah bin al-Hakam berbicara keras di tengah shalat
karena belum tahu hukumnya, Nabi tidak memarahinya. Seusai shalat, beliau
menasihati dengan lembut.
Mu‘awiyah berkata, “Aku belum pernah melihat guru sebaik beliau. Tidak memukul,
tidak mencaci, hanya menasihati dengan lembut.”
Dalam Tafsir Al-Azhar, Buya
Hamka menulis:
“Islam datang untuk memudahkan,
bukan mempersulit. Nabi saw. menunjukkan agama bukan sebagai beban, tapi jalan
lapang menuju ridha Allah.”
Menjadi sahl
berarti menghapus sekat antara hukum dan kasih sayang. Ia menegakkan aturan
tanpa menghilangkan empati.
Di kantor, di sekolah, di rumah — orang yang sahl membuat hidup orang
lain terasa lebih ringan.
Di dunia yang
semakin bising dan keras, menjadi lembut adalah keberanian.
Mungkin, di hadapan Allah, yang paling mulia bukan yang paling cepat, paling
pintar, atau paling berkuasa — tapi mereka yang diam-diam menata sandal,
menepuk tangan pasien dengan kasih, dan memudahkan urusan orang lain dengan
senyum sabar.
Karena pada akhirnya, surga selalu punya ruang bagi hati-hati yang qarīb,
hayyin, dan sahl.
Tiga sifat itu
bukan karunia langka.
Setiap orang bisa memilikinya — siapa pun yang mau melatih hatinya untuk
tenang, menahan diri saat marah, dan tulus memudahkan urusan sesama.
(Refleksi , Bab 74 Riyadus Sholihin
, Memudahkan orang Lain )
Video
Guru dan Karyawan
Data Guru tidak ada






