Bijak Menjaga Retak Sosial
Refleksi Bab
75 Riyadhus Shalihin — Memaafkan dan Berpaling dari Orang Bodoh
Pagi itu, halaman sekolah swasta di
pinggir kota terasa seperti memendam letihnya sendiri. Bel masuk berbunyi,
tetapi tidak banyak memberi semangat. Di ruang guru, aroma kopi sachet
bercampur keluhan kecil—tentang murid yang makin sedikit, jadwal yang tumpang
tindih, dan rencana pengurangan pegawai yang kabarnya makin nyata.
Dalam dunia sekolah yang serba
terbatas ini, persoalan sering lahir bukan dari fasilitas, tetapi dari
pertemuan antarmanusia yang sama-sama rapuh. Ada guru yang mudah tersulut
amarah, ada yang lisannya tajam, ada yang gemar menyindir dalam balutan candaan.
Sebagian sedang lelah, sebagian sedang tertekan, sebagian lainnya hanya tidak
tahu bagaimana cara menata perasaan.
Di ruang seperti itu, Rasulullah ﷺ
seolah menepuk bahu kita:
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:
«إِنَّكَ لَنْ تَسَعَ النَّاسَ بِأَمْوَالِكَ، فَسَعْهُمْ
بِبَسْطِ الْوَجْهِ وَحُسْنِ الْخُلُقِ»
“Engkau tidak akan mampu memenuhi kebutuhan semua orang dengan hartamu.
Maka cukupilah mereka dengan wajah yang ramah dan akhlak yang baik.”
(HR. al-Bazzar)
Di sekolah swasta, kalimat ini
terasa seperti cermin. Kita memang tidak bisa memenuhi semua keinginan rekan
kerja—gaji yang cukup, fasilitas lengkap, atau suasana kerja yang selalu
harmonis. Yang bisa kita jaga hanyalah sikap, yang tidak pernah disunat oleh
anggaran.
Allah pun menggambarkan hamba yang
matang jiwanya:
﴿وَإِذَا
خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَامًا﴾
(“Dan
apabila orang-orang bodoh menyapa mereka dengan kasar,
mereka menjawab dengan kata yang selamat.”)
Tafsir
Al-Azhar — Buya Hamka
Buya Hamka menafsirkan bahwa al-jāhilīn
bukan sekadar orang yang tidak berpendidikan, tetapi mereka yang akhlaknya
rendah—mudah marah, suka menyindir, mengikuti emosi tanpa kendali. Menurut
Hamka, membalas mereka dengan ketenangan adalah ciri jiwa yang sudah dewasa;
bukan kalah, melainkan menang atas diri sendiri.
Karena itu, kita harus belajar
menerima rekan kerja apa adanya, lengkap dengan kekurangan dan suasana hatinya.
Tidak semua orang manis, tidak semua lisannya lembut, tidak semua sikapnya
layak diingat. Tapi di sinilah iman bekerja: menjaga diri agar tidak ikut
terseret.
Maka berpaling dari “orang bodoh”
bukan berarti memusuhi.
Bukan menganggap diri lebih tinggi.
Tapi melindungi hati dari percikan api kecil yang bisa membakar suasana besar.
Berpaling berarti tahu kapan harus
diam, kapan tidak menanggapi, dan kapan beranjak sebelum konflik melebar.
Dengan begitu, kita menjaga agar retak sosial di sekolah tidak berubah menjadi
jurang.
Dalam lingkungan yang penuh
tekanan—murid menurun, fasilitas terbatas, persaingan jam mengajar, dan intrik
yang kadang tak berujung—ketenangan menjadi kebutuhan yang lebih mahal daripada
proyektor baru.
Dan justru pada ketenangan itulah
kita bersandar.
Karena kemenangan sejati di sekolah bukan pada siapa yang paling keras
bersuara,
tetapi siapa yang paling lembut menjaga diri.
Semoga Allah menuntun kita menjadi
pendidik yang lapang dada, santun dalam perbedaan, dan bijak menjauh dari
kata-kata yang tidak perlu.
Karena kadang, berpaling adalah ibadah yang menyelamatkan banyak hati sekaligus
Video
Guru dan Karyawan
Data Guru tidak ada






